Jalan-Jalan Ke Baduy Bersama Komunitas Blogger Lebak

    Ada yang sudah pernah ke Baduy?

  Saya pernah dua kali. Kali pertama tahun 2012, bersama teman-teman dari Rumah Dunia  kami bermalam di Desa Gajeboh. Kali kedua beberapa bulan lalu, itupun dadakan gara-gara teman yang lagi ngidam pengen makan durian langsung di Baduy.

    Kalau dihitung-hitung, jarak dari rumah ke perkampungan suku Baduy sebenarnya relatif dekat. Tapi saya baru sempat dua kali ke sana, itupun hanya untuk memenuhi memori HP dengan foto-foto narsis disetiap sudut perkampungan Baduy. Hih! Dasar Aku 

    Namun, siapa nyana tahun 2021 ini saya berkesempatan lagi untuk datang ke Baduy. Kali ini bareng teman-teman dari Komunitas Blogger Lebak. Sayangnya tidak semua anggota bisa ikut serta. Kami bersembilan melakukan perjalanan ke tiga kampung yang berada di Baduy Luar dikomandoi oleh Pak Asep Kurnia. Beliau adalah penulis banyak buku yang mengisahkan suku Baduy. Beliau juga yang mendorong teman-teman di KBL untuk aktif menulis tentang Baduy.


Kp. Gajeboh, Baduy Luar (10 April 2012)


Kp. Kadu Ketug 1, Baduy Luar (21 Agustus 2021)


Kp. Cipondoh, Baduy Luar (20 Oktober 2021)

    Hampir pukul sembilan ketika suami memacu Honda Beat kami menuju Ciboleger. Tetapi karena belum sempat sarapan akhirnya kami berhenti dulu di rumah makan H. Ohim tepatnya di seberang kantor Polsek Kecamatan Muncang. Saya memilih sayur kepala kakap dan suami memilih sate ayam. Kami makan dengan lahap, teh hangat menjadi penutup sarapan kami yang kesiangan. Setelah selesai melakukan pembayaran, bergegas kami melanjutkan perjalanan menyusul teman-teman KBL yang sudah lebih dulu tiba di kediaman Pak Asep.

    Berhasil menyusul dengan selamat teman-teman KBL. Saya pun ikut meriung Pak Asep yang sedang memberikan pengarahan kepada kami. Karena datang terlambat saya hanya menyimak sedikit saja tuturan beliau. Sebelum mengajak kami menuju perkampungan Baduy, Pak Asep menjamu kami makan siang. Saya yang sudah merasa cukup kenyang hanya menjadi penonton, meski sepiring udang berbumbu merah melambai-lambai menggoda lidah. Tak berhenti sampai disitu, Pak Asep masih menghadiahi kami buku tulisan beliau yang berjudul “Masa Depan Suku Baduy”. Sungguh hari yang kenyang dan menyenangkan.


Bersama Pak Asep Kurnia, Penulis dan Pemerhati Budaya Baduy

    Selepas makan kami melanjutkan perjalanan, seperti biasa untuk menandai bahwa kami pernah menginjakkan kaki di Baduy maka berfoto dipatung “Selamat Datang di Ciboleger” adalah sebuah keharusan. Begitu juga berfoto di pintu masuk perkampungan Baduy Luar. Mandatory photo is a must 😁


Patung "Selamat Datang di Ciboleger"



Pintu masuk ke perkampungan Baduy

    Sependek pengetahuan saya asal-usul kata suku ini, yaitu Baduy, berasal dari kata Badawi atau Bedoin yang diberikan oleh seorang peneliti Belanda. Namun, karena aksen warga setempat, kata tersebut pada akhirnya bergeser menjadi kata Baduy. Tapi kemarin saya mendapat pengetahuan baru, bahwa suku Baduy diberi nama Baduy merujuk kepada nama sungai yang melewati wilayah Desa Kanekes, yaitu sungai Cibaduy. Dan ternyata ada gunung kecil/ bukit dengan nama yang sama yaitu Baduy. 

    Selain itu jika penyebutan suku Baduy seperti yang dijelaskan oleh peneliti Belanda yang seolah melihat persamaan mereka dengan kelompok masyarakat Arab Badawi yang berpindah-pindah atau nomaden itu tidak tepat karena suku Baduy bukanlah tipe kelompok masyarakat nomaden, demikian penjelasan yang saya tangkap dari Pak Asep yang sudah puluhan tahun membersamai masyarakat Baduy.

    Suku Baduy atau orang Baduy juga sering disebut orang Kanekes, karena mereka tinggal di Desa Kanekes. Ada juga yang menyebutnya dengan orang Rawayan, Rawayan menurut penulis Etnografi Suku Baduy, Ahmad Yani, adalah berasal dari buhun Sunda atau bahasa asal tertuanya. Menurutnya, Rawayan berarti jembatan gantung atau yang oleh masyarakat Baduy disebut cukangan yang terbuat dari bambu, kayu, tali dari ijuk pohon aren. Itu sebabnya kemudian masyarakat Baduy disebut Rawayan.

    Terkait hal tersebut, Jaro Dainah pernah menegaskan bahwa: "Kanekes ngaran Desa, Baduy ngaran masyarakatna. Lian ti eta berarti sebutan nu diciptakeun ku urang luar Baduy." Artinya Kanekes nama Desa, Baduy nama masyarakatnya. Selain dari itu berarti sebutan yang diciptakan oleh orang luar Baduy. (Masa Depan Suku Baduy, Asep Kurnia : 49).

 

Menyusuri Perkampungan Baduy Luar

    Kampung Kadu Ketug 1 adalah kampung pertama jika kita masuk melalui jalur utara Terminal Ciboleger. Jalur ini disebut juga Pos 1, merupakan jalur paling ramai dilalui oleh orang-orang yang Saba Budaya Baduy.

     Sebelum memasuki tanah ulayat, kita harus lapor dulu kepada Jaro atau Kepala Desa Kanekes dan mengisi buku tamu. Tentu saja dimasa pandemi ini setiap pengunjung harus melakukan protokol kesehatan.


Pintu masuk tanah ulayat Baduy Luar di Kampung Kadu Ketug 1


    Memasuki kampung pertama, saya disuguhi oleh keunikan rumah adat suku Baduy. Mengapa unik? karena setiap rumah suku Baduy hanya diperbolehkan menghadap arah utara dan selatan saja. Karena arah timur dan barat merupakan sumber cahaya matahari yang berhak didapatkan oleh setiap warga. Rumah adat Baduy ini disebut dengan Rumah adat Sulah Nyanda.

    Selain itu dibeberapa tempat rumah suku Baduy selalu mengikuti kontur atau kemiringan tanah. Sehingga jika diamati, struktur rumah terlihat tak simetris dengan kondisi tiang-tiang pembangun yang tak sejajar. Konon hal tersebut dipercaya sebagai upaya untuk melindungi penghuni dari terpaan bencana alam.


Rumah adat Sulah Nyanda, Kampung Kadu Ketug 1, Baduy Luar


Rumah adat Sulah Nyanda, Baduy Luar

    Bangunan rumahnya sendiri berbentuk rumah panggung, dimana alas pondasinya terbuat dari batu, lantainya dari bambu yang dibelah, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, tiangnya dari balok kayu, dan atapnya dari bilah bambu, daun kelapa kering/ rumbia dan ijuk. Rumah adat Baduy dibangun dengan memperhitungkan sisi ramah lingkungan. Tentu saja hal ini merupakan pikukuh suku Baduy yang senantiasa berusaha untuk selaras dengan alam dan tak bertentangan dengan kodrat yang diciptakan sang maha kuasa.

    Hal unik lainnya adalah tidak adanya jendela di setiap sisi rumah untuk Baduy dalam, sementara di Baduy luar sudah memiliki jendela hanya saja tidak memakai kaca. Bilik-bilik rumah di Baduy luar pun sudah menggunakan corak.

    Rumah adat ini dibagi kedalam tiga unsur ruangan yaitu sosoro (depan), tepas (tengah) dan imah (belakang). Sosoro berfungsi sebagai ruang tamu, tempat bersantai dan menenun bagi kaum perempuan. Tepas difungsikan untuk tempat istirahat dan pertemuan keluarga. Sedangkan imah berfungsi sebagai dapur atau tempat untuk memasak dan menyimpan hasil ladang.

    Untuk rumah Jaro/ Pimpinan Desa biasanya dibuat di sisi bagian Selatan dan memiliki posisi yang lebih tinggi secara letak. Hal ini berkenaan dengan penghormatan pada posisi pimpinan di Baduy.

Rumah dinas Jaro Saija


Bersana Ambu, istri Jaro Saija


    Kami pun melanjutkan perjalanan ke kampung Kadu Ketug 2 atau kampung Cipondok, tidak jauh berbeda dengan kampung sebelumnya hanya saja perjalanan kita akan semakin menanjak. Pssstt... Saya kemarin bawa balsem otot, biar otot betis saya nggak ngamuk pas diajak nanjak. Salam balsem, sobat jompo 😂. 

    Saya jadi ingat dulu waktu kali pertama ke Baduy ada yang bilang, "Hanya orang berniat baik dan pantang menyerah saja yang terpilih untuk menikmati perjalanan ke Baduy Dalam." Niat baik itu terutama kaitannya dengan menjaga sikap, menurunkan ego dari merasa diri paling 'modern'.

    Sepanjang perjalanan kita akan melihat geliat aktivitas suku Baduy.  Ada yang hendak berangkat ke ladang, ada perempuan Baduy yang sedang menenun, anak-anak yang sibuk bermain, dan yang duduk di sosoro menunggu dagangan mereka diserbu pembeli.

    Betul kita bisa membeli aneka kerajinan tangan, madu, gula aren, tas koja dan tentu saja kain tenun Baduy dengan aneka warna dan motifnya yang cantik. Bagi masyarakat Baduy, menenun merupakan wujud ketaatan yang dilakukan perempuan Baduy terhadap adat yang mereka junjung.


Ambu Dewi asyik menenun


Ambu Aswati duduk santai di sosoro menunggu pembeli 


Gadis kecil itu bernama Anita, saya memberinya boneka untuk kenang-kenangan


Teman-teman KBL, Ibu Aam, Pak Asep, Ibu Nunuz, Ibu Mar'ah dan Ambu Tini

    Perjalanan kami berakhir sampai di kampung Kadu Ketug 3. Di kampung ini ada banyak leuit (tempat penyimpanan padi) yang berusia puluhan tahun. Leuit memiliki bentuk seperti rumah panggung yang ditopang oleh empat kayu penyangga atau tihang. Tingginya sekitar satu meter dari atas tanah. Leuit didesain khusus agar mampu menyimpan padi dalam jangka waktu yang lama serta bebas gangguan tikus. Supaya padi bisa tahan lama, lumbung selalu dirawat secara rutin. Atap merupakan bagian lumbung yang paling sering diganti supaya tidak bocor. 


Leuit gugudangan, Kp. Kadu Ketug 3, Baduy Luar

Leuit merupakan simbol ketahanan pangan bagi suku Baduy. Memiliki leuit bukanlah kewajiban adat bagi semua warga baduy, tetapi merupakan hal yang diwajibkan bagi yang memiliki kemampuan secara ekonomi sajaLeuit yang berfungsi menyimpan padi selama puluhan tahun, menjadikan warga Baduy dapat mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung pada ketersediaan beras di luar Baduy. Dengan demikian warga Baduy dapat terhindar dari kerawanan pangan. Setiap warga Baduy yang sudah menikah dan mampu, pasti akan membuat leuit untuk menyimpan hasil panennya. Hal tersebut didasarkan pada kesadaran hukum dan ketaatan mereka pada kebiasaan adat leluhur sejak dahulu.


Leuit gagadungan, Kp. Kadu Ketug 3, Baduy Luar

Jalan-jalan KBL ke Baduy kali ini ini hanya sampai ditiga kampung Baduy luar saja. Masih ada enam puluh satu kampung yang belum kami kunjungi. Kami kembali berkumpul di kediaman Pak Asep sebelum pamit pulang. 

Rasanya hati masih tertambat di Baduy, di gudang ilmu, di tempat yang menjadi cermin kehidupan. Nanti saya akan kembali lagi mengurai segala penasaran yang masih berjejalan di kepala. 

Posting Komentar

64 Komentar

  1. Suasananya asyik sekali. Semoga saya berkesempatan pergi ke sana. Selamat pagi ananda Pipit.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat Pagi, Bu Haji
      Kalau ke Baduy nanti kabar-kabari ya, Bu 🙏😁

      Hapus
  2. Saya amat bahagia dan sekaligus bangga dengan munculnya tulisan singkat, padat, renyah, mengalir ini. Bu pipit memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap Baduy... Tulisannya menginpirasi dan mrmbuktikan bahwa menulis itu mudah... Semoga kawan KBL lainya segera menyusul dengan tulisan asyik, nyentrik Dan Cantiknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Pak Asep
      Sudah menularkan kecintaan kepada masyarakat Adat Baduy 🙏

      Hapus
  3. Suasana di baduy gak pernah berubah yaaa,saya udah 3 kali pergi ke baduy. Enaknya di sana tuh, walaupun jalannya batu sama tanah tapi di sana tetep bersih dan seger bgt udaranya. Tetep jaga harta kebudayaan Banten ini yaaa guysss🤭😜🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nyobain jalan-jalan di Baduy ga pake alas kaki udah belum? Hihihi...

      Udara segar, mata dimanjakan, betaaaah 😍

      Hapus
  4. Memoar yg cantik memesona. Sangat menggugah selera membacanya...kereeen..

    BalasHapus
  5. Tulisan yang kerenn.. Renyah, enak, dan bikin nagih. Asyik sekali membaca kisah baduy dengan segala keunikannya. Tunggu tulisanku yahh. Semangat!

    BalasHapus
  6. Pelajarn Yang bisa diambil dari budaya masyarakat Baduy, adalah kesederhanaan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kesederhanaan dalam menggunakan skincare/make up juga ya, Pak

      Seperti Ambu Dewi yang cantik alami tanpa skincare dan make up 😄

      Hapus
  7. soal tulisannya SO PASTI Enak, adem, empuk didengar & gak bikin bosen. Cuma mau komen, Lebih ke arah banyak rasa KAGUM dengan activitas & kepribadian ibu HEBAT ini nih:(, Tadah pipih, nama panggilan miridnya di nurul madany. Sehat-sehat ya tadah.... Tetap jadi ibu HEBAT & ibu yang serasa temen buat kami anak muridmu. Berkah & lantjaarrrr selalu ibu HEBAT.🥰 Suka IRI SUKA aja gitu sebagai anak muda belum bisa apa² dengan karya² beliau.
    Salam tadah...🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Adi Yunanda, hahaha...
      Kamu juga keren, hati-hati klo ikut demo ya.

      Jangan sampai kayak Fariz 😭

      Hapus
  8. Wah seru sekali perjalanannya tadah😃 dengan membaca tulisan saja sudah ikut merasakan betapa bahagianya berkunjung ke Baduy, sepertinya Baduy bakal jadi wishlist liburanku selanjutnya hehe.. Makasih tadah sudah menulis pengalaman yang sangat berkesan, ditunggu tulisan tulisan selanjutnya🤍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klo kamu yang ke Baduy udah pasti bakal ada stok foto dan video yang estetik.

      Kamu kan Nadia Farasya Estetik 😄

      Hapus
  9. Jujurly saya salah satu orang Lebak yg belum pernah ke Baduy, sama sekali. Alhumdulillahnya tulisan ini bisa sedikit memberikan gambaran bagaimana kondisi di Baduy yg sebenarnya. Terima kasih Tadzah:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapan-kapan harus datang langsung ke Baduy ya, Kak...

      Hapus
  10. Lebak itu deket karawaci kan yaa mba,, hemm..seneng banget rasanya bisa kesana, perkampungan yang tampak asri gitu cocok banget buat penambah mood nyari bahan tulisan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klo dari Karawaci sih lumayan ya, apalagi klo jalan kaki 😄

      Buat yang jenuh sama suasana perkotaan yang hingar bingar pasti cocok banget merapat dulu ke sini

      Hapus
  11. dulu waktu tau ada kampung Baduy dan baca-baca historynya menarik juga, jadi keinget sama kampung waerebo di Flores
    ternyata baduy pun juga ada yang baduy dalam dan luar
    dannn banyak juga ya mbak jumlah kampungnya, aku kira ga sampe sebanyak itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enam puluh empat kampung di Baduy Luar dan tiga kampung di Baduy dalam. Banyak banget 😁

      Waerebo masuk whist list yang harus aku kunjungi. Semoga kesampean 🤲🥺

      Hapus
  12. Keren ...apalagi jalan-jalannya bersama anggota lagerunal...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heuheu...
      Grup lagerunal emang warbyasaaah 😄

      Hapus
  13. Angan saya larut dibawa sobat Jompo, Mak Pipit. He he he, padahal lebih jompo saya lah.

    Reportase yang sangat tidak membosankan. Suguhan tulisan berpadu gambar yang pas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Pak D
      Kalau ke Baduy kabar-kabari ya, nanti bareng-bareng sama sobat jompo lainnya 😃

      Hapus
  14. Alhamdulilah dapat pngetahuan baru tentang Suku Baduy.terimakasih Bu Pipit ... Semoga sahabat lage bisa berkunjung ke kampung Suku Baduy.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Bu Atik
      Ayo ayo ditunggu ya sobat lagi ☺

      Hapus
  15. Wah perjalanan yang sangat bermanfaat. Sambil.menuliskan pengetahuan kekayaan budaya yang luhur. Alam yang terjaga ... membacanya seolah ikut masuk di kampungnya. Apakah ini tergolong travel writers.....yang jelas reportasenya sangat bermanfaat dan enak dibaca. Mantap Bu Pipit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Pak Hari
      Ayo berkunjung ke Baduy :)

      Hapus
  16. Saya merasa ikut dalam perjalanan ibu Pipit. Lengkap sekali ulasannya. Terimakasih

    BalasHapus
  17. wahhh menarik sekali. ditambah dengan foto yg banyak jadi tambah ingin ke sana? 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyakan foto-fotonya daripada ceritanya ya, Mbak. hihihi...
      Ayo ke Baduy, ditunggu ya :)

      Hapus
  18. Serasa ikut jalan-jalan juga. Keren kisah dan paparannya.

    BalasHapus
  19. Sampai saat ini cuma dengar dan baca tentang Baduy. Tapi baca tulisan yang ini terasa ikut jalan jalan.

    BalasHapus
  20. 2012 udah pernah ke sana ya Bu. Wah, keren. hampir mirip tahunnya dengan yang sekarang; 2021. Sembilan kayak walisongo ya. hehe.. saya sedih nggak ikut. hehe... Btw, fotonya banyak juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh iya yah, angkanya itu-itu juga. Baru nyadar, hihihi...
      Ini sembilan walimurid :))

      Nanti adain lagi chapter duanya, Pak
      Biasalah segini belum dikeluarin semuanya lho fotonya, wkwkwkwk

      Hapus
  21. Terkesan dengan susunan rumah yang sederhana tapi rapi tertata. Terima kasih tulisannya, membawa ikut jalan-jalan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, Bu
      Kali pertama dulu itu kesan yang paling menonjol, rumah sederhana, rapi, terawat dan jauh dari sampah.

      Semoga yang berkunjung ke Baduy juga bisa selalu ikut menjaga lingkungannya

      Hapus
  22. Senang banget baca post mba Pipit mengenai Badui. Post panjang, tapi terus penasaran utk menyelesaikan membaca.

    Aku dari dulu pengin ke Badui, gak kesampaian... semoga corona ini berangsur2 sirna😇 jadi kita bisa melancong.

    Terima kasih mba Pipit, sudah menyuguhkan pengetahuan tentang Badui.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Mba Ike

      Nanti kalau ke Baduy kabar-kabari ya, Mba :)

      Hapus
  23. Makasih banyak teh Pipit atas tulisannya tentang suku Baduy. Saya termasuk orang yang antusias pengin jalan-jalan kesana tapi sayangnya belum pernah kesampaian, padahal jarak dari Serang ke Desa kanekes tidak terlalu jauh, paling hanya empat jam.

    Jadi tahu adat dari suku Baduy lewat tulisan teh Pipit ini.
    Disini juga kadang ada orang Baduy luar yang jualan madu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, ternyata Mas Agus di Serang. Seneng banget ketemu sodara seBanten :)
      Nanti beli madunya langsung ke Baduy ya, Mas. Sekalian kopdar, hihihi...

      Hapus
  24. Waw, sepertinya asyik. Saya jadi berpikir, seandainya konsep membangun leuit diterapkan pada masyarakat umum, sepertinya keteahanan pangan akan benar-benar terjaga. Eh, entahlah kan ga semua jadi petani ya haha. Salam sehat kak Pipit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, konsepnya bisa difokuskan di desa-desa penghasil padi. Jadi desa-desa tersebut jadi lumbung padi nasional. Desa-desa atau tempat lain ya tinggal disesuaikan. Tapi ya hidup di negeri wakanda tidak semudah itu Rudolfo, hahaha...
      Sehat-sehat, Mas Supriyadi :)

      Hapus
  25. asiik aktifitasnya......

    foto fotonya keren dan cerita tentang kampung Baduy sangat menarik.

    Thank you for sharing.

    BalasHapus
  26. Menarik ceritanya..
    Pokoknya Aku padamu mbak blogger..

    Ditunggu cerita dari 61 kampung lainnya yah

    BalasHapus
  27. Baduy memang gak bisa habis untuk diceritakan baik secara lisan maupun tulisan. Ulasan yang keren bu kepsek..foto- fotonya cakep² kayak orangnya..keren habis dah👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Ibu
      Sebanyak apapun dituliskan cerita tentang Baduy tidak akan pernah habis untuk dibagikan :)

      Terimakasih, Ibu :)

      Hapus
  28. Memang berkunjung ke Baduy tidak ada henti henti cerita yang mengalir. Saya 2 kali bersepeda dari pandeglang ke Baduy, meskipun saat menanjak ke Ciboleger napas tersengal sengal.

    Menginap 2 malam dan berkeliling perbukitan dan kampung di Baduy. Saat Bu Pipit menulis Baduy, jadi pengin ke sana lagi menikmati mandi di sungai dan menjemput pagi memotret sunrise dan menunggu sore, memotret sunset. Terima kasih sharingnya Bu, salam sehat dan selamat beraktifitas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semakin diceritakan semakin terasa ceritanya ga ada habisnya ya Pak 😁

      Kapan-kapan klo ke Baduy berkabar. Salam sehat, Pak Eko 🙏

      Hapus
  29. Hwah saya ingin sekali berkunjung ke Baduy, menarik rasanya melihat masyarakat yang masih memegang teguh kearifan lokal daerahnya dengan teguh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayok, Bang...
      Gaskeun 😄

      Kabar-kabari klo mau ke Baduy 🙏

      Hapus
  30. Asyik yaa kak bisa ke baduy bersama dengan orang yang tahu tentang baduy. Jadi kita tidak hanya pergi ke sana, tapi juga dapat pengetahuan dan pengalaman baru. Kehidupan dan kearifan lokal masyarakat baduy memang sangat menarik untuk dipelajari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, klo ke tempat wisata budaya atau sejarah memang sebaiknya dengan orang yang juga sudah hafal betul dengan sikon di sana ya. Biar kita ga 'sekedar' datang dan berkunjung :)

      Hapus