![]() |
gambar dari unsplash |
Februari
lekat sekali dengan perayaan kasih sayang. Karena di dalamnya terdapat satu
tanggal yang biasa dipakai untuk memperingati Hari Valentine. Sependek
pengetahuan saya ada beberapa versi yang menceritakan sejarah hari valentine, meski
tidak ada jaminan 100% kebenarannya. Setidaknya memang ada sejarah dibalik hari
yang diperingati banyak orang di dunia ini.
Kisah
yang paling akrab dengan kita pada umumnya adalah tentang seorang pastor
bernama Santo Valentino yang diam-diam menikahkan pasangan muda yang saling
mencintai, namun akhirnya tewas dipenggal. Karena konon pada saat
itu Kaisar Roma Claudius II melarang
para tentara bertunangan dan menikah. Karena menurutnya, keterikatan para
tentara dengan kekasih, istri, dan anak-anaklah yang membuat mereka tidak mau
ikut bertempur.
Dari
simpang siurnya sejarah tersebut, yang selalu tampak menggelitik adalah sikap
dari warga +62. Acapkali menjelang datangnya hari kasih sayang tersebut, selalu
ada yang mati-matian meredam euforia dari hari yang banyak
menarik perhatian kawula muda ini. Dengan mengatasnamakan budaya asli nusantara
mereka menolak budaya valentine. Lucunya disisi lain saat ada
perayaan budaya lokal nusantara mereka melakukan hal sama seperti saat mereka
menolak budaya valentine.
Yang
paling nyaring gaunngya adalah Budaya valentine atau budaya
lokal sering dilabeli merusak akidah agama.
Jujur
saya tidak sependapat. Ketika mereka menolak budaya valentine dan
juga budaya asli nusantara terkadang terbersit pemikiran apakah mereka yang
menolak itu menginginkan kita memiliki pemikiran yang seragam, agama yang sama
dan sikap fundamentalis yang ingin dipaksakan untuk menular ke sendi-sendi
masyarakat Indonesia?
Bukankah
keseragaman pemikiran dalam kekuatan besar akan melahirkan kefasisan?
dan in my humble opinion, hal tersebut tidak relevan dengan
kondisi masyarakat kita yang majemuk.
Lalu
entah sampai kapan hal-hal yang sebenarnya kita semua sudah tahu jawabannya ini
selalu dipakai di ruang-ruang publik untuk gontok-gontokkan. Sesuatu yang malah
menjadi nirfaedah, disaat orang-orang di tempat lain sudah
melesat berlomba-lomba menuju ruang pengetahuan dan teknologi yang masih belum
terjamah manusia.
Terlepas
dari hukum perayaan valentine itu boleh atau tidak, saya kira
terpenting bagi kita saat ini adalah tentang sejauh mana upaya kita mengarahkan
kawula muda untuk mengisi perayaan valentine ini dengan
hal-hal yang bermanfaat dan jauh dari hal-hal sesat yang membawa kemudaratan.
Karena
tidak bisa dipungkiri jika perayaan valentine juga
berpeluang membawa kawula muda kepada hal-hal nirfaedah bahkan
merugikan. Tetapi rasanya kurang bijak jika hanya sekedar melarang tanpa
memberikan penjelasan.
Bila
pun tetap ingin melarang, laranglah cara-cara yang mungkin akan melanggar
norma-norma di masyarakat ketika mereka merayakannya. Bila terjadi pelanggaran
norma, maka tindaklah pelanggaran tersebut. Jadi bukan sekedar melarang apalagi
tanpa memberikan pemahaman mengenai hal tersebut. Serta tidak
menggeneralisasi penyimpangan yang terjadi pada saat perayaan valentine saja.
Oleh
karena itu menjadi tanggung jawab kita semua, untuk peduli terhadap anak-anak
muda. Dan menjadi tugas kita sebagai pendidik untuk membuka cakrawala
murid-murid dengan mengedukasi mereka dan memberikan pemahaman yang baik hingga
mereka mampu berpikir kritis sebelum mengambil keputusan dan melahirkan
kesadaran sesuai dengan kepribadian dan nilai-nilai yang dianutnya.
2 Komentar
Luar biasa tulisannya. Diksinya keren, koherensinya sangat baik, dan persuasif...
BalasHapusTerimakasih ambu sudah berkunjung
Hapus