Kepada Ibu

Kalau saja sebelum dilahirkan aku bisa memilih di tempat mana dan menjadi anak siapa, tentu aku tidak akan memilih berada di sini. Di istana serupa pasungan yang membuatku hanya seolah-olah hidup.

Aku tidak akan memilih menjadi serupa Musa kecil di tengah amuk kuasanya Fir’aun. Bukan bermaksud menyalahkan takdir, tidak sama sekali tidak. Karena aku tahu kadang takdir langit tidak selalu sejalan dengan kehendak bumi.

Aku hanya merasa tidak nyaman dengan perempuan itu. Perempuan yang dinadiku mengalir darahnya, perempuan yang wajahnya terlukis diwajahku, Ibu. 

Ah ya, siapa yang tidak kenal dengan ibuku? Hampir tiap sudut kota bahkan sampai ke pelosok Banten wajah dengan senyum khasnya itu bisa dengan mudah dijumpai. Benar, ibuku orang nomor satu di Banten saat ini.

Entah kapan terakhir kali ibu mengecup kening dan mengantarku ke gerbang mimpi dengan dongeng-dongengnya yang selalu menakjubkan itu. Kurasa itu sudah lama, sangat lama sekali. Sekarang ibu lebih sibuk membuai mimpi anak-anaknya di Banten ini, hanya mimpi. Karena tidak pernah kulihat sedikitpun mimpi-mimpi yang ditawarkan ibu berbuah nyata. Kalaupun ada itu hanya serupa jejak embun, sesaat hadir sesaat lenyap.

Senyum ibu adalah senyum yang paling kurindukan, senyum penawar kesedihan tapi itu dulu. Sekarang, ingin rasanya kurobek semua baliho yang memampang senyumnya itu, senyum yang entah, artifisial, kedok kesantunan belaka. 

Dulu sekali perkataan ibu adalah serupa oasis di tengah teriknya udara gurun, menyejukkan. Sekarang serupa titah Fir’aun bagi sahayanya.

Ibu, sampai kapan kau akan memainkan buaian dan memanjakan anak-anakmu dengan mimpi-mimpi tak berkesudahan? Adakah kau tidak lelah dengan semua mimpi yang kau cipta?

Ibu, sampai kapan kau akan melukis senyum pada baliho yang berdiri diatas kepedihan anak-anakmu. Kapan senyummu kembali menjadi penawar kesedihan?

Ibu, sampai kapan kau berlaku serupa Fir’aun pada sahayanya? Adakah titahmu yang lebih menyejukkan?

Ibu, tidakkah kau tahu ada banyak anak di Caringin sana yang untuk bersekolah saja harus bertaruh nyawa. Mereka melewati titian diatas pusaran sungai yang kapan saja bisa menenggelamkan mereka.

Ibu, tahukah kau? Di Rangkasbitung, hanya beberapa kilometer dari dari tempat para punggawamu bertahta ada yang menjerit kelaparan? Dimanakah telinga kalian, dimana?

Ibu, lihatlah jalan umum di pelosok Cipanas dan pelosok lainnya dibumi Banten, tak ubahnya kubangan kerbau, rusak dan tidak layak tempuh. Lalu kemana menguapnya titahmu itu?

Ibu, apa yang kau tunggu? Kemarahan putra-putrimukah? 

Kau tahu mereka diam bukan lantaran tidak paham dan tidak punya kehendak ke arah mana seharusnya mimpi-mimpi buaian ibu menjadi nyata, ke tujuan mulia macam apa seharusnya masa depan mereka diproyeksikan.

Ibu, mereka diam lebih karena kemiskinan yang menghimpit, kekurangcukupan pendidikan, keterbatasan akses informasi, dan ketidakleluasaan gerak. Katakan padaku, benarkah kau menyengaja mencipta lebarnya kesenjangan melalui titahmu, bu?

Ibu kebencianku padamu begitu dalam. walaupun sejujurnya aku tidak suka memakai kata benci, karena benci bukanlah lawan dari cinta. Cinta adalah keseluruhan, tak ada ruang di luar cinta. Kalaupun ada kosa kata “benci” itu hanya layak ditujukan bagi perbuatan bukan kepada orang. 

Aku mencintaimu, bu...

Sangat mencintaimu, aku hanya tidak ingin ibu terjebak dalam lumpur kebusukkan.
Selamat ulang tahun, dirgahayu untukmu ibu.

Putrimu yang akan dan selalu mencintaimu,

Ratu Shofia



Kututup segera layar laptop dihadapanku, kupastikan ibu dapat membacanya nanti malam sebelum pergi tidur. Bergegas kumeninggalkan kamar ibu, memutar kursi rodaku sekuat tenaga dan kembali keterasingan, sepi, gelap dan sendiri.

  
                                                                * * *




Note:
Ditulis untuk yang -katanya- 'Ratu' di Banten

Tulisan ini terangkum dalam: Antalogi Cerpen Gilalova #4