Mencintai Buku-buku



Kalau tidak salah menghitung sudah lima kali purnama tak ada yang baru disana, dirak bukuku. Masalahnya klise, tidak ada uang untuk menambah penghuni baru disana. Lima purnama terakhir memang selalu lebih besar pasak daripada tiang padahal ikat pinggang sudah kusetel kencang sedemikian rupa. 

Aku memang mewajibkan diriku untuk membeli buku baru setiap bulan. Buku apa saja, fiksi dan non fiksi dua-duanya aku suka. Aku memang tidak dilahirkan dikalangan intelektual, Bapakku Sekolah Rakyat saja cuma sampai kelas tiga dan Mama hanya pernah mengecap di Sekolah Kepandaian Putri saja.  Tapi meskipun demikian keduanya mencintai buku-buku, terutama Bapak.

Aku masih ingat pelajaran membaca pertama dari mama adalah mengeja komik yang ada di Lembergar (Lembaran Bergambar) Koran Pos Kota. Doyok, de-o-do-ye-o-yo-ka begitulah cara mama mengajarkan aku mengeja. Dan pelajaran mengeja dari mama adalah hal yang menyenangkan karena mama selalu menghadiahi sesuatu setiap aku membaca dengan tepat. Usiaku baru mendekati empat tahun ketika aku sudah terbiasa membaca habis lembergar koran pos kota.

Beda halnya dengan Bapak, beliau tidak pernah mengajariku mengeja. Beliau hanya membelikanku buku-buku atau majalah. Bapak tidak pernah membatasi buku apa dan bagaimana yang harus aku baca. Beliau hanya bertanya dan bertanya setiap kali aku menghabiskan bacaanku. Kini baru aku sadari cara Bapak seperti itu bermaksud agar aku belajar menganalisa sendiri.

Orang ketiga yang menularkan kecanduan pada buku-buku adalah Kakak pertamaku, dia Laki-laki yang aku kagumi setelah bapak. Kami memang jarang berbicara satu sama lain. Bahasa kami satu, buku. Dia menjejali aku dengan buku-buku yang dia baca, pada saat usia kami terpaut sangat jauh. Aku masih SD ketika kakak pertamaku tingkat akhir di perguruan tinggi. Buku pertama yang disodorkannya adalah Malapetaka Terbesar Dalam Sejarah Islam – Thaha Husain (kalau tidak salah ingat) dan buku-buku lain yang memiliki tema bahasan seperti itu. Mulanya aku merasa tidak sangggup karena kakak selalu memberikan batasan waktu kapan aku harus mengkhatamkan buku-buku tebal miliknya itu. Dia pun akan menjadi sangat marah jika ada sedikit saja bukunya yang sobek. Aku mengerti bahwa sikapnya yang seperti itu hanya jalan dalam memberikan pemahaman.

Bagiku sendiri seperti halnya menulis, membaca adalah sebuah terapi bagi jiwa. Membaca berarti mendialogkan problem-problem atau nilai-nilai baru terhadap sesuatu yang sudah ada dan kita miliki dalam diri seperti agama, kebiasaan, mentalitas, persoalan-persoalan umat, bangsa dan kemanusiaan. Terapi bagi peningkatan pemikiran dan kepribadian karena membaca sama dengan mensuplai persediaan bagi otak dan jiwaku. Dengan demikian jiwa dan otak senantiasa aktif dan merdeka, terbuka untuk pertanyaan dan perubahan. Membaca adalah cahaya.

Namun demikian seperti yang pernah dikatakan seseorang yang juga saya kagumi, perlu diingat bahwa berdialog dengan teks yang hadir sebagai pribadi yang otonom tanpa ditemani pengarangnya. Ketika membaca, maka ada 3 komponen yang terlibat : dunia pembaca, dunia teks dan dunia pengarang. 

Teks dengan sistem tanda yang ada, selalu menawarkan sesuatu kepada kita si pembaca. Berupa konsep yang memuat seperangkat aturan atau solusi-solusi terhadap masalah kekinian kita. Akan tetapi, harus dipahami bahwa solusi dan semua tawarannya adalah produk dari sebuah bentangan sejarah dan budaya dimana teks tersebut dilahirkan dan sangat boleh jadi kalau kita adopsi mentah-mentah bukannya memberikan jalan keluar yang solutif, malah memunculkan masalah baru. Jadi bukan sekedar transfer makna tapi juga harus ada transformasi makna. Oleh karenanya membaca, membaca dan membacalah kembali.

Suatu hari nanti, aku pun akan menularkan hal serupa kepada anak-anakku, mengenalkan mereka pada buku-buku, mencintainya, menyayanginya.

Ada sebuah kutipan yang pernah menohokku, begini kutipannya:

“Sekali waktu engkau pernah mengira bahwa segala yang engkau pelajari dan cermati adalah kebenaran. Tetapi kemudian engkau maju ke langkah berikutnya, dan menemukan bahwa semua yang telah engkau pelajari bukanlah kebenaran. Dan pada masa yang akan datang ketika engkau masih melangkah lebih berikutnya dan memandang kembali semua yang sekarang engkau anggap benar, ternyata engkau juga akan melihatnya sebagai kepalsuan. Dengan cara ini, setiap kali engkau melangkah maju ke tingkat yang baru, maka engkau akan menemukan bahwa semua yang engkau pelajari pada masa lalu adalah kepalsuan (salah). Akhirnya, ketika engkau mencapai maqam (keadaan) Tuhan dan maqam kearifanNya, maka engkau akan menyadari bahwa semua pemikiran engkau adalah keliru. Semuanya keliru. Hanya Dialah kebenaran. KebijakanNya adalah kebenaran sejati, dan sifat-sifatNya adalah emas kekayaan yang sesungguhnya. Apabila engkau memahami hal ini, maka engkau akan memohon ampunanNya atas segala kesalahan yang engkau lakukan pada masa yang lalu. Engkau akan melihat dengan jelas dan pasti bahwa hanya ada satu keluarga, satu doa dan satu Tuhan. Kita harus memikirkan hal ini. Ini adalah kearifan yang berharga, hikmah kebenaran.” (Sheikh M. R. Bawa Muhaiyaddeen)

 

Omong-omong sudah membaca apa hari ini? 

 


Posting Komentar

10 Komentar

  1. Sudah mbaca apa hari ini? Ini adalah tulisan pembuka hari. Sangat menakjubkan.

    BalasHapus
  2. Baru membaca postingan teman di list Senin BW..😁😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ambuu 😄😄😄
      Maaf, Ambu...
      Aku ga bisa komen di YPTD, lupa loginnya 🙈

      Hapus
  3. Ini bacaan keduaku. Masya Allah. Blogwlaking memang cara murah untuk menambah ilmu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Bu...
      Sempatkanlah selalu blogwalking 😁

      Hapus
  4. Karena buku adalah jendela ilmu, maka membacakan sebanyak banyaknya

    BalasHapus
  5. Baru membaca tulisan di wa. Buku belum dibuka.

    BalasHapus