Mengenang Multatuli


Multatuli nama yang sudah tidak asing lagi di dengar. Multatuli yang berarti aku banyak menderita adalah nama pena dari Edward Douwes Dekker pria kelahiran 1820 dari Amsterdam. Namanya mulai terdengar nyaring ketika beliau mulai diangkat menjadi Asisten Residen Lebak pada tahun 1856.
Melihat banyaknya sistem kolonial Hindia Belanda yang tidak mengayomi masyarakat Lebak pada saat itu Edward Douwes Dekker gelisah. Dan mulai melakukan ‘perjuangan’ agar masyarakat Lebak tidak tertindas oleh penguasa.

Sayangnya ‘perjuangannya’ mendapatkan sambutan tidak hangat dari atasannya. Dia dipindah tugaskan dari Lebak karena dianggap tidak cakap memangku jabatan ‘pangreh praja’. Karena kecewa akhirnya Dekker lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya.


April 1857 Dekker kembali ke Eropa dalam kondisi keuangan yang buruk sekali dia memutuskan untuk tinggal di sebuah Losmen di Belgia. Di akhir musim gugur tahun 1859 itulah ia mulai menulis bukunya yang mengandung ‘protes’ Max Havelaar. Maksud utama karya itu ada dua, harus diakhirinya pemerasan terhadap orang Jawa dan untuk kehormatan Edward Douwes Dekker sendiri.

Max Havelaar diterbitkan pada tahun 1860 yang kemudian di akui sebagai karya sastra yang bernilai dan banyak diperbincangkan oleh para kritisi dunia kesusasteraan.

Biasanya kesusasteraan kolonial (ditulis dalam bahasa Belanda, Perancis, dan Inggris) kebanyakan hanya mengisahkan kehidupan bangsa Eropa dinegara-negara jajahannya. Gambaran tajam tentang hubungan antara penjajah dan negara yang dijajah. Ciri-ciri dominannya adalah adanya pemisahan antara ‘kami’ terhadap ‘mereka’ atau antara ‘majikan’ dan ‘kawula’.

Max Havelaar sendiri keluar dari kebiasaan itu. Isinya berupa gugatan tajam terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang menimpa penduduk bumiputera di wilayah Hindia Belanda pada waktu itu.
Apa yang telah dilakukan Multatuli seperti yang telah diuraikan diatas, hendaknya menjadi pesan moral terutama bagi masyarakat Lebak atau Rangkasbitung saat ini. Multatuli yang warga asing saja begitu peduli terhadap masyarakat Lebak. Hendaknya masyarakat Lebak dan pemerintah Kabupaten Lebak juga ikut termotivasi untuk memiliki perasaan kemanusiaan yang berjuang melawan segala kepentingan diri kolektivitas, menghapus perbuatan dan semua kebiasaan yang melanggar norma.

Adanya wacana pembangunan Museum Multatuli atas kerjasama antara pemerintah kabupaten Lebak dan pemerintah Belanda pada saat kunjungan wakil Kedubes Belanda Paul Pieters ke Lebak (24/04). Sebaiknya memang bukan hanya sekedar wacana pembangunan fisik tapi juga dibarengi oleh pembangunan moral, menghidupkan kembali ‘ruh’ Multatuli seperti kepedulian terhadap masyarakat. Lagipula tidak ada peninggalan fisik Multatuli (selain rumah tua) yang bisa dipamerkan untuk obyek pendidikan masyarakat.

Satu hal lagi sebagai kota yang tengah berbenah untuk menjadi kota pelajar dan kota pendidikan, Miris sekali rasanya di Lebak tidak memiliki perpustakaan daerah yang ‘berisi’. Oleh karena itu sebagai bagian dari masyarkat Lebak saya juga berharap museum itu nantinya berfungsi juga sebagai perpustakaan,  agar kelak terlahir Saijah dan Adinda ‘baru’.

Posting Komentar

0 Komentar