gambar dari cemilku

Setiap imlek datang, entah kenapa aku ikut senang padahal merayakannya pun tidak. Mungkin karena imlek pernah memberikan kenangan semanis kue keranjang. 

Adalah Mami San, sahabat mama ketika dulu kami masih menjadi salah satu warga di Perumahan Taman Cibodas. Mami San, merupakan tetangga yang baik. Anaknya yang terakhir usianya lima tahun lebih tua diatasku, nama panggilannya A Tut. A Tut suka mengajakku bermain bersama, mainannya banyak sekali. Termasuk boneka Barbie yang saat itu sedang populer. Aku yang tidak mampu membeli boneka Barbie tentu merasa senang sekali setiap A Tut mengajakku bermain dengan Barbienya.

Masa kanak-kanakku memang dekat dengan warga negara keturunan di sekitar tempat kami tinggal. Aku bermain dengan anak-anak mereka dan seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, rumah Mami San lah tempat yang paling aku sering bermain di dalamnya. Tak jarang akupun ikut makan bersama dengan mereka, bahkan disuapi Mami San seperti Mami menyuapi anak-anaknya sendiri.

Yang paling kuingat dari Mami San, setiap kali makan beliau selalu mengingatkan untuk menghabiskan makanan. Kata Mami, untuk mendapatkan sepiring nasi, orang tua rela mengucurkan keringat dan airmata. Aku kecil saat itu hanya mengangguk mengikuti apa kata Mami, meski sebenarnya belum paham betul apa yang Mami San katakan. Yang jelas masakan Mami sedap sekali dan sangat sayang jika tidak dihabiskan.

Kembali ke kue keranjang, aku masih ingat tiap imlek pasti rumahku kebanjiran kue keranjang atau dodol cina ini. Karena tetangga-tetangga dekat rumah kami pasti memberi kami kue keranjang. Tentu saja yang paling bahagia adalah aku, melihat tumpukan kue keranjang yang siap aku habiskan setiap saat. Mami San selalu berpesan kepadaku untuk memakan kue keranjang sebelum menyantap nasi, konon hal tersebut adalah adab dari do’a pengharapan agar selalu beruntung sepanjang tahun.

Sependek ingatan kecilku dulu perayaan imlek tidak semeriah seperti sekarang atau sebelum pandemi menyerang, karena saat itu Pemerintah melarang perayaan imlek didepan umum. Tetapi di rumah Mami San aku selalu merasakan kehangatan tiap imlek meski tidak ada hiasan-hiasan dekoratif semeriah sekarang. Aku hanya melihat di ruang tengah rumah mami ada meja khusus yang biasa digunakan sebagai altar dan diatasnya ada hiasan sederhana dan hidangan. Yang paling kuingat tentu saja kue keranjang bersusun yang makin keatas makin kecil ukuran kuenya. Selain itu Mami biasanya menambahkan kue mangkuk dipuncaknya, cantik sekali. Kata Mami itu simbol dari  kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkuk.

Mama selalu berusaha membalas kebaikan-kebaikan Mami San kepada kami. Semisal setiap Ramadhan Mama selalu membuatkan Mami San kolak biji salak kesukaannya atau tape ketan uli. Aku melihat Mama dan Mami seperti kakak beradik yang saling menyayangi. Seperti makna dari kue keranjang yang bulat, Mama dan Mami selalu rukun dan bersatu.

Beberapa hari sebelum imlek kemarin aku sudah check out kue keranjang di market place. Kali ini aku membeli kue keranjang bukan karena aku menyukainya sejak kecil. Aku membelinya karena manisnya kenangan masa kecil, juga untuk Mama dan Mami San di kedamaian abadi.