Kita sering berbicara tentang musik
rock 'n roll, tentang seringai bunyi gitar Van Hallen atau Joe Satriani. Kita sering berbicara tentang
clothing dan
sepatu vans, kita sering berbicara nikmatnya bercinta dab buruknya zaman. Kita sering menenggak alkohol dan mengacungkan jari tengah kita kepada sistem kehidupan yang membelenggu kita dan keluarlah kata-kata kasar sebagai upaya pemenuhan hasrat birahi nestapa derita kita.
Tapi, kita tidak pernah mencoba berbicara dan membaca agama dan filsafat secara kritis kemudian menghidupkan kritisisme di dalam kebudayaan hidup bersosialisasi kita. Seringkali kita menghujat sesuatu atas nama idealisme kita terhadap sesuatu yang tidak pernah ada sesungguhnya, karena kesalahan kita dalam membaca 'teks' itu sendiri. Kita seolah-olah menjadi kaum beragama sejati hanya karena telah mendukung fatwa Ulama yang mengharamkan liberalisasi dan pluralisme dalam menafsirkan teks agama yang kebenarannya hanya Tuhan sendiri yang mengetahui (?).
Dan untuk yang kesekian kalinya, kita kembali lagi menjadi makhluk yang bodoh karena tidak bisa membaca teks lama yang sudah usang dan basi selama ini. Kita tidak pernah mau belajar dan hanya ingin menjustifikasi kebodohan kita dengan menganggap orang lain lebih bodoh dari kita sendiri. Sebuah keangkuhan akan jiwa yang hampa dan menangis meronta melalui perkataan serta pikiran yang membohongi diri kita sendiri. Lantas apa dan siapa yang ingin kita lawan dan musuhi? Orang lain yang berbeda dengan kita? Atau diri kita sendiri? Atau seorang makhluk
imaginer yang tidak bisa kita sentuh kemudian kita merasa senang karena kita kemudian bisa menyebutnya sesat dan kafir? Atau Tuhankah yang harus kita salahkan?
Anulirisasi (pengabsenan) atau sikap apatis kita dalam menyikapi persoalan agama dan filsafat yang mewarnai kehidupan kita sehari-hari ini, tidak terkecuali di dalamnya berbicara tentang musik dan alkohol sebagai simbol perlawanan zaman, hanya menjadikan kita sebagai pihak yang pasif hanya menonton perubahan sosial yang ada. Jika liberalisasi, pluralisme dan sekularisasi politik lantas diharamkan oleh agama, lantas, apa yang bisa kita lihat dalam lima tahun ke depan? Barangkali kita tidak bisa lagi membeli buku-buku filsafat, film-film barat, di setiap acara musik terjadi penggeledahan oleh mereka yang mengaku sebagai polisi agama dan mengatasnamakan Tuhan untuk menghancurkan gitar-gitar kesayangan kita dan
head-cabinet hasil kredit ringan, semua produk budaya liberal yang datang dari Barat.
Ini, bukan artiya kita harus melindungi budaya barat, tapi akan ada suatu 'pengeliminasian' dan 'penghancuran' sisi kemanusiaan kita yang sangat berharga, dan penghancuran sisi kemanusiaan ini sudah mulai dilakukan di beberapa tempat di Indonesia dengan dilarangnya adat-istiadat tarian khusus di Cianjur karena dianggap 'musyrik' (?).
Dan yang lebih mengerikan, kita akan disebut sebagai sampah masyarakat atau aliran sesat yang dikejar-kejar hanya karena kita memiliki keyakinan kita sendiri. Keberpihakan kita dalam subjek konflik agama, sudah dimaklumi, karena kita mengonsumsi agama sebagai candu yang membutakan kita, bukan yang mencerahkan kita, jika niscaya pencerahan itu akan didapat hanya dari sifat kritis kita terhadap sesuatu, mulai dari hal yang kecil hingga hal yang sakral sekali pun. Ini merupakan masalah kita dalam kehidupan sehari-hari, hak kita untuk mengemukakan kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir dan menjamin keberlangsungan kritisisme kita sebagai manusia berakal di masa sekarang atau di masa yang akan datang, sebagai suatu perjuangan kita untuk bebas berekspresi dan berkreasi tanpa ada unsur trauma dan jera untuk mencoba. Kita adalah manusia bebas!
Baik agama maupun musik seharusnya bisa menjadi instrumen umum untuk mengakomodir kebutuhan kita sebagai manusia, bukan sebagai pencabut jiwa seni yang kritis dan progresif dalam mengembangkan kembali khasanah kebudayaan masyarakat global.
Maka dapa dipahami jika
John Lennon telah memimpikan dunia tanpa agama dan negara dalam lirik "
imagine"nya sebagai suatu mimpi yang 'barangkali' bisa mewujudkan kehidupan manusia yang damai dan sejahtera, karena niscaya, untuk meraih kebahagiaan sesungguhnya tidak perlu ada pamrih apapun. "
All the things in the future are never known from what's happening right now. What I've predicted, the more passive we are, the more they control our life..." [
Indra].
0 Komentar